Pengalaman ini terjadi sekitar tujuh tahun lalu. Saat itu aku masih
bujangan dan tinggal bersama orang tuaku di kota X. Di sebuah kawasan
yang tergolong padat penduduk. Jarak antara satu rumah dengan lainnya
berhimpitan dan cenderung kumuh. Maklum kebanyakan yang tinggal dari
kalangan ekonomi papan bawah.
Persis di belakang rumahku,
tinggal keluarga Pak Was. Pria yang berprofesi sebagai penarik becak ini
hidup bersama Bi Nah istrinya dan anak bungsunya Karni yang masih
balita. Sedang kedua anak mereka yang lain, Sri dan Drajat, telah
merantau ke Jakarta dalam usia yang masih cukup belia.
Bi Nah
punya usaha sampingan menjual kupon judi, semacam "Togel" yang populer
sekarang ini. Hingga di rumahnya selalu banyak orang baik untuk merumus
maupun memasang taruhan. Termasuk aku yang sering diminta untuk menulis
dan mencatat taruhan pemasang dengan upah beberapa ribu rupiah. Sedang
Pak Was, kalau sedang tidak narik becak lebih senang mabuk dengan Pak
Dal, temannya yang berprofesi sebagai tukang kayu. Rumah Pak Dal
berjarak sekitar delapan rumah dari rumah Pak Was.
Lama
bergaul dengan keluarga Pak Was aku merasakan adanya keganjilan. Yakni
soal hubungan Pak Dal dan Bi Nah. Keakraban keduanya, sepertinya tidak
lazim. Di samping mereka sering ngobrol intim dan berbisik-bisik,
beberapa kali aku memergoki tangan Pak Daliri meraba dan meremas pantat
Bi Nah. Tentu saja saat Pak Wasjud tidak di rumah.
Saat itu
usia Bi Nah menjelang 40 tahun. Memang sih wajahnya tidak tergolong
cantik dan berkulit sawo matang. Namun dengan sosoknya yang tinggi besar
dan berbuah dada menantang, wanita itu memang masih mampu menggetarkan
syahwat laki-laki. Aku malah sering dibuat kelabakan bila melihat
kancing dasternya yang terbuka mempertontonkan sebagian busungan
payudaranya. Cara berpakaian Bi Nah memang sering sembarangan. Tetapi
apa mungkin Pak Dal punya hubungan khusus dengan Bu Nah mengingat ia
teman akrab Pak Was? Pikiran dan pertanyaan semacam itu sering
melintas-lintas dalam anganku yang akhirnya terjawab juga.
Malam
itu, sekitar pukul 22.30 WIB, terlihat Pak Was menaiki sepada onthel
milik Pak Dal. Ia melintas melewati depan rumahku. "Mau kemana Pak?"
sapaku. Ia berhenti, "Ini Rin mau beli sate dan anget-anget," jawabnya.
Lalu sebelum kembali menggenjot pedal sepada yang dinaikinya, "Nanti
kamu ke rumah ya, ikut makan sate," ujarnya lagi dan aku mengiyakan.
Aku
senang dengan tawarannya itu karena memang sedang lapar. Tetapi kemana
membeli sate dan minuman keras di malam selarut ini? Memang ada, tetapi
jaraknya lebih dari tiga kilometer. Apa Pak Was harus pergi ke tempat
sejauh itu? Ah, masa bodo yang penting kalau dapat bisa ikut makan.
Karena
tawaran Pak Was, kendati aku yakin ia belum sampai, aku bermaksud ke
rumah tetanggaku itu. Aku keluar lewat pintu dapur dengan membawa kunci
agar mudah kalau mau pulang. Rumah Pak Was memang behimpit dengan pintu
dapur rumahku dan hanya dibatasi lontrong sempit. Saat berada di
lontrong kudengar suara mencurigakan. Suara mendesah Bi Nah yang
diselingi suara lain dari laki-laki. Sepertinya suara Pak Dal. Arah
suara itu datangnya dari kamar Pak Was dan istrinya.
Aku jadi
ingin tahu. Bercampur kecurigaan yang selama ini kupendam, dengan
berjingkat kudekati bagian kamar rumah Pak Was yang berdinding bambu.
Aku merapat ke dinding. Jelas kudengar arahnya dari dalam kamar. Maka
segera kucari lubang untuk mengintip yang tidak begitu sulit kudapatkan
karena cukup banyak dindingnya yang berlubang.
Ah, benar
seperti yang kukira. Bi Nah dengan Pak Dal memang selingkuh. Di kamar
itu kulihat Bi Nah duduk di pangkuan Pak Dal yang terduduk di tepian
ranjang. Keduanya sama-sama telanjang tanpa sehelai benang menutupi
tubuh. Bahkan mulut Pak Dal tengah asyik mengulum dan menghisapi puting
susu sebelah kiri Bi Nah. Sedang tangannya menggerayang dan meremasi
yang sebelah kanan. Sesekali dipilin-pilinnya putingnya yang coklat
kehitaman dan tampak mencuat.
Beberapa kali memang aku sempat
melihat buah dada wanita itu. Tetapi hanya sebagian. Terutama bila ia
tidak mengancingkan semua kancing dasternya. Terlebih bila di rumah, ia
memang kerap tidak mengenakan kutang. Tetapi melihat keseluruhannya jauh
lebih indah. Besar dan nampak masih kenyal. Pantas Pak Dal begitu asyik
dengan mainannya itu sampai Bi Nah mendesah dan menggelinjang.
Jakunku
turun naik dan degup jantungku kian terpacu saat Pak Dal mengganti
permainan. Lepas dari buah dada Bi Nah, tangan Pak Dal merosot dan
merayap ke paha dan selangkangan wanita itu. Bi Nah merenggangkan kaki.
Seperti memberi kemudahan pada pasangannya untuk beraksi. Kini, kemaluan
wanita itulah yang menjadi sasaran obok-obok tangan Pak Dal. Karena
keterbatasan penerangan di dalam kamar, aku memang tidak bisa melihat
secara detail bentuk kemaluan Bi Nah. Terlebih segera tertutup tangan
Pak Dal yang mulai mengusap dan mungkin mencolek-coleknya. Namun
sepintas, dari kehitaman yang nampak, aku yakin memek Bu Nah lebat
tertutup oleh rambut yang tumbuh di sekitarnya.
Keseluruhan
bangun tubuh Bi Nah memang aduhai. Setidaknya begitu pendapatku saat
itu. Betapa tidak, postur tubuhnya tinggi besar montok dan berisi.
Susunya juga besar, mengkal, meskipun agak turun. Serasi dengan
pinggangnya yang ramping namun makin ke bawah makin membesar. Kakinya
panjang indah menyerupai kaki belalang dengan paha yang nampak kekar.
Ah, ingin rasanya aku jadi Pak Dal, bisa memangku dan mengusap apa yang
ingin kupegang. Tak terasa kontolku jadi ikut tegang dan nafas menjadi
tak teratur.
Bi Nah turun dari pangkuan Pak Dal. "Kang ayo
kita mualai. Nanti Kang Was keburu datang lho," kata wanita itu. Malam
itu Bi Nah nampak lebih cantik dengan rambut panjangnya yang dibiarkan
terurai. Biasanya rambutnya lebih banyak digelung.
"Ah, tidak
mungkin Nah. Beli sate dan minumannya kan cuma di tempat biasa. Paling
dia belum sampai ke tukang sate itu. Dan katanya kamu mau ngemut iniku?"
Pak Dal menjawab sambil menunjukkan kontolnya yang mengacung di
selangkangannya. Ternyata punya Pak Daliri tidak besar-besar amat. Hanya
ukurannya memang cukup panjang. Namun, dibandingkan dengan milikku, aku
yakin masih kalah jauh. Punyaku, di samping berukuran besar, pernah
kuukur diameternya sampai 5 CM lebih. Panjangnya juga mendekati 20 CM.
Mungkin karena tubuhku yang bongsor.
"Ah besok saja. Takut
Kang Was keburu datang. Makanya kalau mau diemut tidak usaha gerayangan
dulu jadinya lama. Dan lagi aku sudah pengin," ujar Bi Nah. Ia naik ke
ranjang dan langsung tiduran mengangkang. Melihat lawannya sudah bersiap
Pak Dal tak bisa menolak. Disusulnya Bi Nah dan langsung menindih
wanita itu. Untung posisi tidur mereka persis membelakangi tempatku
mengintip. Hingga aku bisa melihat semuanya, seperti close up yang
sering tampil dalam film BF yang pernah kutonton.
Meski tak
cukup jelas terlihat, kulihat penis Pak Dal dengan mudah menerobos masuk
ke lubang vagina Bi Nah. Lalu seiring dengan pantat Pak Dal yang mulai
naik turun, penisnya menjadi terayun keluar masuk dalam lubang memek
itu. Penis Pak Dal nampak mengkilat, mungkin karena terlumuri cairan
yang ada di dalam liang sanggama pasangannya. Keduanya nampak mendesah,
menikmati permainan yang tengah dilakukannya. Sambil terus mengayun
pantatnya, tangan Pak Dal tak henti bermain di payudara istri Pak Was.
Sesekali tangan Bi Nah meremas pantat Pak Dal dan mencoba menekannya.
Mungkin agar hunjaman penis pasangannya masuk lebih dalam.
Permainan
menjadi semakin panas ketika kulihat pinggul Bi Nah mulai bergoyang.
Goyangan pinggul dan pantatnya nampak memutar berirama. Ia bergoyang
sambil merintih dan mendesah. Tak urung aku jadi makin terpengaruh.
Sambil terus menatap ke dalam kukocok dan kuremas-remas sendiri kontolku
seraya membayangkan nikmatnya digoyang istri Pak Was.
Pengaruh
goyang pinggul Bi Nah rupaya juga berimbas pada Pak Dal. Pria itu mulai
merintih-rintih dan tusukan kontolnya pada memek pasangannya menjadi
kian cepat. Akhirnya, tubuhnya mengajang dan ia melenguh panjang.
Rupanya ia telah mendapatkan puncak kenikmatannya. Dan itu bersamaan
dengan keluarnya mani dari kontolku yang membaur dengan rasa nikmat yang
ikut kurasakan. Sedang Bi Nah yang terus menggoyang tubuh bagian
bawahnya, setelah sesaat mengejang dijambaknya rambut kepala Pak Dal.
Kepala pria pasangannya itu dibenamkannya ke payudarannya untuk akhirnya
sama-sama terdiam dan ambruk dengan peluh berleleran di sekujur tubuh
mereka. Suasana terasa hening sesaat.
Bi Nah yang telah turun
dari ranjang memungut dasternya yang teronggok di lantai. Namun Pak Dal
berusaha mencegah. Pantat besar wanita itu diremasnya dan berusaha
ditariknya mendekat. "Sudah ah, nanti gampang diulang lagi. Dan jangan
lupa ya janjimu untuk membelikanku cincin," kata Bi Nah sambil keluar
dari kamar. Mungkin ke kamar mandi membersihkan diri. Sedang Pak Dal,
dengan ogah-gahan turun dari ranjang dan kembali mengenakan pakaiannya.
Aku
tidak langsung masuk ke rumah Pak Was kendati kudengar Bi Nah dan Pak
Dal telah bercengkerama di ruang depan dengan pintu yang sengaja dibuka.
Kutunggu Pak Was diujung jalan, baru bersama laki-laki itu aku masuk
menemui pasangan selingkuh yang baru menikmati indahnya sorga dunia. Aku
bersikap seolah tidak mengetahui apa yang telah terjadi hingga Bi Nah
dan Pak Dal tidak curiga. Hanya, aku sering tidak bisa mengalihkan
tatapanku pada busung dada istri Pak Was. Pukul 02.00 dini hari aku
keluar dengan Pak Dal yang mulai mabuk karena minuman keras yang
ditenggaknya.
Pak Dal tidak hanya mendatangi Bi Nah saat
suaminya beli sate dan arak. Tapi di siang hari, saat suaminya mencari
penumpang bisa saja ia melakukannya. Sebab sebagai penjual kupon judi,
rumah Pak Was selalu dikunjungi mereka yang hendak merumus dan menebak
angka jitu yang akan dipasangnya termasuk Pak Dal. Bisa saja saat sepi
mereka jadi punya kesempatan untuk melakukannya. Aku pernah melihat Pak
Dal keluar dari rumah Pak Was suatu siang, namun saat aku masuk kulihat
Bi Nah hanya membalut tubuh dengan kain panjang dengan rambut
acak-acakan dan tengah bersiap mandi.
Mangintip kamar Bi Nah
akhirnya menjadi kebiasaanku di malam hari. Memang tidak selalu
kutemukan adegan wanita itu tengah bersenggama. Sebab bungan seks Pak
Was dan istrinya tergolong jarang. Mungkin karena usia atau kerja keras
yang harus dilakukannya. Tetapi kalau Pak Was beli sate atas perintah
Pak Dal, dipastikan ada permainan panas dan itu telah kubuktikan lebih
dari sepuluh kali dan menjadikanku kian terobsesi pada wanita setengah
baya itu.
Suatu hari, seperti biasa semenjak sore aku membantu
Bi Nah melayani pembeli kupon judi. Sampai akhirnya harus membuat
rekapan angka-angka yang dibeli para pemasang. Namun hingga pukul 21.00
malam Pak Was tak kunjung datang. Padahal dia yang biasanya menyetor
uang dan data rekapan pada agen. "Kok Pak Wasjud belum datang Bi?" Bi
Nah tengah menidurkan Karni, si bungsu anaknya di kamarnya.
"Pak
Was diajak Pak Dal nonton wayang. Paling mereka pasang judi kopyok
sampai pagi. Nanti yang setor Bibi. Dibonceng kamu ya Rin pakai
sepedanya Pak Dal?" Aku mengangguk. Inilah kesempatan itu, pikirku
membathin. Ya kesempatan meminta layanan dari Bi Nah. Tetapi bagaimana
caranya? Apa dia tidak marah? Sebab mungkin di matanya aku masih remaja
ingusan kendati sosokku tinggi besar. Ah, yang penting aku berani
menyampaikan, pikirku lagi tanpa terucapkan.
Dalam perjalanan
pulang dari menyetor ke agen kupon judi aku sengaja memperlambat kayuhan
pedal. "Kalau Pak Dal dan Pak Was nonton wayang jadi tidak ada acara
makan sate ya Bi?" Ujarku memberanikan diri.
"Iya memang.
Kalau kamu pengin sate, upahmu kan bisa digunakan untuk membeli beberapa
tusuk. Nanti biar Bi Nah tambahi sedikit," jawa Bi Nah, tak tahu arah
pembicaraanku.
"Tetapi kan kurang asyik," ujarku lagi.
"Kurang asyik bagaimana?"
"Kalau yang beli sate Pak Was kan aku bisa asyik nonton film BF-nya Bi Nah dan Pak Dal," kataku lebih menegaskan.
Jleg!
Bi Nah langsung turun dari boncengan tetapi sambil memegangi sepeda
yang kukendarai. "Maksudmu soal film BF itu apa Rin, Bibi benar tidak
tahu," ujarnya keras. Ia agak panik.
"Anu lho Bi, sebenarnya aku sering ngintip Bibi saat begituan dengan Pak Dal,"
Reaksinya seperti yang kukira. Ia sangat kaget. Dan dengan merajuk
dipeganginya tanganku sambil berucap,
"Rin Bibi minta tolong. Kamu jangan cerita sama siapa-siapa apalagi pada Pak Was. Tolong ya Rin. Nanti Bibi lah yang belikan sate,"
"Rin Bibi minta tolong. Kamu jangan cerita sama siapa-siapa apalagi pada Pak Was. Tolong ya Rin. Nanti Bibi lah yang belikan sate,"
"Aku tidak kepingin sate
kok Bi. Tetapi kepingin begituan sama Bi Nah," aku menandaskan. Ia
terperanjat, tetapi cuma sesaat. Beberapa saat ia terdiam sambil
menatapiku, sampai akhirnya, "Kalau maumu begitu, nanti kamu boleh
melakukannya sepuasmu," katanya dan kembali membonceng sepedaku.
Sepanjang
perjalanan ia banyak bertanya. Soal apakah aku pernah berhubungan
dengan perempuan lain dan sebagaimanya. Bahkan tangannya sempat iseng
menggerayang ke selangkanganku dan membelai-belai milikku. "Rupanya
punya kamu besar juga ya Rin. Belum berdiri saja sudah begini besar."
Aku senang dengan pujian Bi Nah. Pedal sepeda kukayuh kencang agar cepat
sampai dan dapat melakukan segala yang ingin kulakukan.
Di
rumah, Bi Nah langsung menarikku ke kamarnya. Tetapi aku jadi bingung
harus memulai dari mana. Canggung karena belum pernah punya pengalaman
intim dengan wanita. Apalagi perbedaan usia kami yang cukup jauh karena
saat itu aku belum genap 19 tahun. Hingga aku cuma duduk tercenung di
tepian ranjang, sedang Bi Nah duduk di sisi yang lain mengawasiku.
Mungkin ia menunggu reaksi dan keberanianku.
Lama aku tak
bergeming, Bi Nah akhirnya mengambil insiatif. Ia turun dari ranjang dan
mulai mepreteli sendiri pakaiannya. Setelah melepasi
kancing-kancingnya, dipelorotkannya daster lusuh yang dikenakannya.
Terjatuh dan dibiarkannya teronggok di lantai. Busung dadanya yang besar
nampak menggunung karena masih tersangga oleh kutang hitam yang
dipakai. Namun begitu BH-nya dilepas, ketahuan bahwa bukit kembar itu
telah agak melorot. Putingnya yang coklat kehitaman nampak mencuat
menantang. Aku jadi ingat adegan penari striptease dalam film porno
karena Bi Nah seperti sengaja mempertontonkan bagian-bagian tubuhnya
yang merangsang secara perlahan.
Aku menjadi tidak sabar untuk
melihat semuanya karena setelah membuka kutangnya, Bi Nah tidak segera
melanjutkan dengan membuka celana dalamnya. Ia asyik meraba dan meremasi
sendiri buah dadanya. Ia tahu mataku mulai tertuju gundukan di
selangkangannya yang masih terbungkus celana dalam. Namun seperti
sengaja ia tidak segera memelorotkan celana dalamnya yang berwarna hitam
itu. "Kalau ingin melihat yang ini, kamu harus membuka sendiri celana
dalam Bi Nah," ujarnya tersenyum sambil merabai sendiri kemaluannya dari
luar CD-nya.
Bi Nah mendekatiku yang tetap duduk di bibir
ranjang. Di hadapanku, dalam jarak yang sangat dekat, sepasang buah
dadanya nyaris menyentuh wajahku. Maka aku langsung menyambutnya dengan
mengecup salah satu puting dari susu montok itu. Lalu dengan rakus
kukulum dan kupermainkan dengan lidahku. "Ssshh.., aahh.., ookkhh..," Bi
Nah mendesah, ketika aku mulai menghisapnya. Tubuhnya kian merapat dan
diraihnya kepalaku untuk dibenamkan di kehangatan payudaranya.
Sambil
terus melumati puting susunya bergantian kiri dan kanan, tanganku
meliar ke bagian lain tubuh bahenolnya. Kuraba-raba pinggulnya dan
kemudian beralih dengan meremasi pantatnya. Sedikit demi sedikit
kuturunkan celana dalamnya yang juga berwarna hitam. Celana dalam Bi Nah
sangat longgar, mungkin karena terlalu sering dipakai. Maka setelah
karetnya melewati pinggul dan bongkahan bokongnya, celana dalam itu
merosot turun dengan sendirinya.
Benar rambut kemaluan istri
Pak Was itu tumbuh sangat lebat. Terdengar bunyi kemerisik saat telapak
tanganku mengusap-usapnya. Mungkin karena gesekan tanganku pada rambut
lebat dan keriting kecil-kecil itu. Perhatianku jadi beralih ke
vaginanya. Turun dari ranjang, aku langsung berjongkok. Sementara Bi Nah
mengangkat salah satu kakinya untuk bertumpu pada bibir ranjang. Dalam
posisi seperti aku jadi bisa melihat memeknya sampai ke detilnya.
Lubangnya yang sedikit menganga dengan bibir kemaluan yang telah
berkerut-kerut, juga tonjolan daging kelentitnya. Berbeda dengan bibir
luar memeknya yang berwarna kehitaman, di bagian dalam lubang nikmatnya
nampak memerah.
"Ayo Rin.., memek Bi Nah bukan tontonan.
Jangan cuma dilihati saja. Kamu bisa menjilati atau menghisapnya,"
ujarnya tak sabar. Maka kembali kuturuti perintahnya. Tanpa diminta,
sebenarnya aku sudah mau melakukannya.
Dengan penuh nafsu
kujilati memek wanita setengah baya itu. Baunya sangat khas, sulit
kutemukan padanannya. Ketika lidahku menyapu lebih ke dalam bagian
lubang nikmatnya, sedikit terasa asin dan berlendir. Tetapi tidak
kupedulikan. Lidahku terus kugunakan untuk menyapu sampai ke bagian yang
dapat dijangkau. Bahkan kelentitnya yang menonjol berkali-kali kuhisap.
"aahhkkhh.., enak sekali Rin. Ternyata kamu sangat pintar. Ya.., ya..
begitu.., aahh.., sshh,.. oohh,"
Bi Nah memintaku melanjutkan
adegan itu sambil berbaring di ranjangnya. Tetapi sebelumnya dibantunya
aku melepasi pakaianku. Dan atas perintahnya posisi kepalaku diminta
berada di bagian bawah tubuhnya dengan bagian tubuhku yang lain berada
dekat kepalanya. Seperti membentuk hurup 69. Rupanya dengan posisi itu,
kami jadi sama-sama memperoleh nikmat. Aku bisa tetap menilat dan
menghisapi kemaluannya, namun ia juga bisa mengulum dan menjilati
kontolku sekaligus. Lidah Bi Nah yang menyapu ujung kepala penisku
terasa panas, namun sangat nikmat. Terlebih saat mulutnya mulai mengulum
dan menghisap-hisapnya. Maka setelah ia telentang dalam posisi
mengangkang, aku segera menubruknya dan kembali menjilati kemaluannya.
Cukup
lama kami tenggelam dalam kenikmatan posisi 69. Seperti menari lidahku
menyapu dan menjilat di kebasahan memek Bi Nah. Menimbulkan bunyi
kecipak yang sangat khas, craap.., croop.., srusuup.. Bi Nah terengah,
aku pun sesekali mengerang manahan nikmat karena sedotan-sedotan mulut
wanita itu pada penisku. Terlebih saat ia mengulum dan melumasi biji
pelirku dari luar kantongnya. Sampai akhirnya, tubuh wanita itu
mengajang dan kepalaku dijepitnya kencang dihimpit kedua pahanya.
"Aahh..ahh..aauuhh, enak sekali Rin, akhh Bi Nah sudah keluar
Rin,..sshh..aahhkkhh," rintihnya sambil menggoyang pantat dan
pinggulnya. Ia telah mendapatkan puncak kepuasannya.
Dan tak
lama berselang, aku pun mulai merasakan dorongan sangat kuat di penisku.
Dorongan yang telah lama kutahan agar tidak jebol. "aa.., aku juga Bi.
Akhh.. sshh.. auhh," aku merintih. Berbarengan dengan itu, dari ujung
penisku memancar kuat air maniku. Rupanya Bi Nah terlambat mengeluarkan
penisku dari mulutnya saat aku mendapatkan itu hingga sebagian air
maniku yang kental berwarna keputihan masuk ke dalam mulutnya. Sebagian
yang lainnya berleleran di wajahnya. Wajah Bi Nah tampak puas dengan apa
yang diperolehnya.
Sesuai dengan bentuk tubuhnya yang bongkok
udang, nafsu Bi Nah tergolong besar. Terbukti beberapa saat setelah
itu, ia kembali melancarkan serangannya. Kontolku yang kembali mengecil
dan layu mulai dihisap-hisapnya dengan mulutnya. Bahkan entah disengaja
atau, tanpa merasa jijik sapuan lidahnya sampai ke lubang anusku. Geli
dan rasanya sangat aneh, namun sungguh sangat nikmat.
Rudalku
kembali mendongak tegak. Besar, keras dan siap tempur. Senang karena
hanya sesaat bisa membangkitkan kembali, dengan gemas dikocok-kocoknya
pelan tonggak daging milikku itu. Wajah Bi Nah tampak puas, senyumnya
terlihat mengembang. Adegan berikutnya, sesuatu yang sangat kunanti
akhirnya terjadi. Ia bangkit lalu mengambil posisi berjongkok persis di
atas pinggangku yang terbaring telentang. Tepatnya persis pada posisi di
atas batang zakarku yang mengacung. Saat itu, di mataku, sosok Bi Nah
menjadi sangat indah. Belahan memeknya nampak terbuka di antara kaki dan
kedua pahanya yang kekar menyangga.
Aku dibuatnya sedikit
tegang dan berdebar saat dengan pelan ia mulai menurunkan pantatnya.
Ujung penisku terasa mulai menyentuh bukit kemaluannya yang membusung.
Sambil menggenggam batang penisku diarahkannya ujungnya tepat di liang
sanggamanya. Ssslleesseepp.., bbllees..! Sedikit demi sedikit kontolku
masuk di lubang memeknya. Rasanya hangat dan basah. Aku mendesis menahan
nikmat yang baru pertama kali kurasakan.
"Enak Rin..," ujarnya.
Aku
mengangguk. Terlebih saat ia mulai menggoyang pelan pantatnya. Milikku
serasa diremas-remas dalam kehangatan lubang memeknya. Sepasang
payudaranya yang besar dan menggelantung terlihat ikut bergoyang
mengundang. Menarikku untuk kembali memegang dan membelai susu-susunya
itu. Putingnya kupilin-pilin dan di saat yang lain kuremas-remasnya
daging yang terasa kenyal di tangkupan telapak tanganku.
"Ayo
Rin.., remas terus susu Bi Nah.., ah.., ah,..shh akh, enaknya kontolmu,"
ia terus mendesah sambil menggoyang-goyang pantatnya. Aku jadi kian
bersemangat. Saat posisinya kian membungkuk, langsung kusambar putingnya
dengan mulutku. Kujilat-jilat dan kuhisap dengan rakus. Bi Nah tambah
histeris. Goyangan pinggul dan pantatnya kian menjadi. Keringatnya
berleleran, ikut membasahi tubuhku. Baunya sangat khas, bau wanita
dewasa yang entah kenapa sangat kusuka.
Beberapa saat dalam
posisi di atas, rupanya membuatnya cepat kehabisan tenaga. Ia akhirnya
meminta berganti posisi. "Gantian Rin, kamu yang di atas. Mungkin karena
Bi Nah sudah tua ya, jadi cepat cape," katanya.
"Bi Nah belum tua, kok. Masih cantik dan montok..,"
"Ah bisa saja kamu,"
"Bener. Saya pengin terus bisa begini sama Bi Nah," kataku lagi.
"Bisa Rin, bisa. Pokoknya kalau lagi tidak ada Pak Was dan Pak Dal, Bi Nah pasti siap ngentot sama kamu kapan saja," ujarnya.
"Bi Nah belum tua, kok. Masih cantik dan montok..,"
"Ah bisa saja kamu,"
"Bener. Saya pengin terus bisa begini sama Bi Nah," kataku lagi.
"Bisa Rin, bisa. Pokoknya kalau lagi tidak ada Pak Was dan Pak Dal, Bi Nah pasti siap ngentot sama kamu kapan saja," ujarnya.
Masih
di atas tempat tidur, kini aku bersiap menindih Bi Nah yang telentang
mengangkang. Namun tidak seperti sebelumnya, penisku kali ini sulit
masuk kendati telah kutekan ke lubang vaginanya. Ia memang sempat
menyeka dan membersihkan memeknya menggunakan kain sprei. Mungkin karena
itu lubang kemaluannya jadi kering dan menjadi sulit diterobos.
"Sini Rin kontolmu Bi Nah kulum dulu biar basah. Jadi nanti masuknya mudah," kata Bi Nah setelah aku berkali tak berhasil menusuk liang sanggamanya. Ia bangkit dan mulai mengulum batang penisku yang keras dan berotot melingkar di sekujurnya. Oleh Bi Nah, sekujur batang penisku seolah diguyurinya dengan ludah.
"Sini Rin kontolmu Bi Nah kulum dulu biar basah. Jadi nanti masuknya mudah," kata Bi Nah setelah aku berkali tak berhasil menusuk liang sanggamanya. Ia bangkit dan mulai mengulum batang penisku yang keras dan berotot melingkar di sekujurnya. Oleh Bi Nah, sekujur batang penisku seolah diguyurinya dengan ludah.
Hasilnya, saat kutusukkan, penis
berlumur ludah itu jadi lebih gampang masuk. Maka mulailah aku
menggoyang dan memain-mainkan penisku di lubang nikmatnya. Hempasan
tubuhku yang mulai naik-turun di atas tubuhnya menimbulkan bunyi seperti
decakan karena kemaluan kami yang beradu. Dan sambil melakukan itu,
tidak puas-puasnya aku meremasi sepasang susunya yang besar. Putingnya
kujilati dan kusedot-sedot penuh nikmat. Variasi sodokan kontolku dan
remasan di payudaranya membuat Bi Nah menggelinjang dan merintih.
"Aauuhh..,
aauuhh.., oohh.., oohh enak sekali kontol kamu Rin. Ya.. terus sedot
susu Bi Nah.., aahh.. ookkhh," rintihnya sambil menahan nikmat yang
dirasakan. Ia terus merintih dan mendesah setiap kali batang penisku
kusentakkan di lubang vaginanya.
Serangan balik Bi Nah tak
kalah garang. Mengikuti irama turun naik penisku di lubang memeknya,
pantatnya kembali digoyang. Bahkan dinding-dinding vaginanya seperti
ikut bekerja. Menjepit dan meremas mengikuti irama goyangannya.
Akibatnya kami sama-sama terbuai dengan kenikmatan yang tengah kami
ciptakan. Kepala penisku mulai berdenyut setiap menerima reaksi jepitan
dinding vaginanya.
Sampai akhirnya, gerakan kami menjadi liar.
Goyangan pinggul dan pantat Bi Nah semakin cepat dan seolah kehilangan
irama. Sama dengan gerakan turun naik tubuhku yang kian terpacu. Dan
puncaknya, pertahanan kami sama-sama ambrol. Bi Nah memeluk erat tubuhku
setelah mengejang hebat dan cengkeraman di lubang memeknya berubah
menjadi menyedot dengan kuat. Maka seiring dengan itu, muncrat pula mani
yang kutahan. Kami sama-sama mengerang menahan nikmat yang tiada tara
dan akhirnya ambruk terkulai. Saat itu sungsum tulangku serasa dilolosi
dan tenagaku habis terkuras.
Sejak malam itu, seperti halnya
Pak Dal, aku menjadi kekasih gelap Bi Nah. Dan seperti janjinya, Bi Nah
memang tidak pernah menolak setiap aku meminta layanannya. Bahkan ia
yang lebih sering mengajak bila tengah tidak melayani Pak Was suaminya
atau Pak Dal. Kami leluasa melakukannya di siang hari saat keduanya
mencari nafkah.
Hubunganku dengan Bi Nah terputus setelah aku merantau dan menetap di kota lain. Ah, Bi Nah..
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar